Kamis, 30 Juli 2009

Keraton

Keraton

Keraton atau dalam bahasa aslinya disebut Karaton berlokasi di pusat kota Jogjakarta. Karaton artinya tempat dimana raja dan ratu tinggal, atau dalam kata lain Kadaton yang artinya sama. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Arsitektur istana ini adalah Sultan Hamengkubuwono I sendiri, yang merupakan pendiri dari kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda- Dr.Pigeund dan Dr.Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta".

Ada beberapa bagian dari wilayah Keraton, salah satunya adalah Pintu Gerbang Donopratopo yang berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu".
Dua patung raksasa yang terdapat di samping, salah satunya menggambarkan kejahatan dan yang lain menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat ". Bukan hanya ini, anda juga dapat menyaksikan peninggalan budaya dari kerajaan Keraton yang lain seperti North Alun-alun, South Alun-alun, Siti Hingil , Kemandungan, Regol Gadungmlati, Regol Brojonolo, Bangsal Witono, Bangsal Manguntur Takil, Bangsal Trajumas, Bangsal Kencono, Pavilion Praba Yeksa, Gedong kuning.

Di dalam Keraton terdapat museum yang dipersembahkan kepada almarhum Sultan Hamengkubuwono IX, ayah dari Sultan Hamenggkubuwono X yang merupakan Sultan saat ini. Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang figur politisi yang terkenal dan merupakan pemimpin Indonesia. Dorongan dan kontribusinya kepada Republik Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dihormati dan dikenal oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Jogjakarta pernah menjadi ibukota Indonesia (1946-1949) dan diresmikan melalui Undang-Undang menjadi daerah khusus yang sama dengan propinsi. Museum ini memamerkan salinan berharga dari Pusaka yang sakral, hadiah dari kerajaan asing, gamelan, kereta kerajaan dan beberapa foto keluarga kerajaan dan susunan keluarga.

Puluhan tahun mengabdi di klinik kraton

SEBUAH klinik kecil, melayani khusus keluarga keraton dan kerabatnya tampak teduh, setengah senyap. Namun di sana ada sosok yang selalu setia dan sedia memberikan pertolongan. Suwarsih (63), wanita berusia senja itu telah mengabdi selama puluhan tahun sebagai suster di Keraton Jogja. Bukan harta dan materi semata yang dicari, namun ketentraman hati, yang telah membawanya merentang dua generasi.
Merawat keluarga Keraton Jogja yang butuh pelayanan medis sewaktu-waktu menjadi tugas Suwarsih. Bakti itu telah dilakoninya semasa mendiang Sultan HB IX, hingga putranya, Pangeran Herjuno (begitu nama kecil Sultan HB X) naik tahta dan berkuasa hingga kini.
Klinik kecil, bernama Bondokasmolo alias Klinik Keraton itu ada di pojok Keraton Kilen, tak jauh dari pintu masuk. Memang cuma sederhana, berupa sebuah ruang mungil, mirip ruang periksa Puskesmas dengan berbagai peralatan medis darurat. Untuk memberi pertolongan gangguan kesehatan ringan dan periksa rutin. Di tempat itulah Suwarsih meniti hari-hari pengabdiannya. Dibanding dengan aktivitas di RS jelas jauh berbeda. Tidak riuh dan dinamik. Adakah alasan tertentu Suwarsih memilih membaktikan hidupnya di sana?
"Barangkali sudah panggilan hati ya. Kalau dipikir-pikir mengabdi di keraton gajinya tidak seberapa, jauh dari gaji perawat di RS. Tapi bagaimana ya, rasanya tenteram, seperti tidak kekurangan apa-apa", kata Suwarsih.
Begitulah. Karena panggilan hati, Suwarsih yang sempat bergiat selama 2 tahun sebagai perawat di RS Ganjuran, Bantul keluar dari pekerjaannya dan memilih menjadi suster (perawat) di Klinik Keraton. Saat itu, puluhan tahun silam, Suwarsih masih terbilang belia, masih lajang, belum berapa lama lulus dari sekolah perawat Panti Rapih Jogja. Pengalaman dua tahun di RS Ganjuran memberinya bekal menjadi perawat bagi keluarga kerajaan.
Suwarsih yang tinggal di daerah Bantul Waru, tak jauh dari Pasar Bantul pun saat itu masih cukup kuat mengayuh sepeda menuju tempat kerjanya di Bondokasmolo, Keraton Kilen. Jarak yang ditempuh cukup membuatnya berpeluh. Tapi karena niatan pengabdian itu, tak ada yang terasa berat.
Pengabdian itu seperti berjodoh dengannya. Tak hanya mendatangkan ketenteraman hati, di keraton pula, hati Suwarsih berlabuh. Dia mendapatkan jodohnya dari lingkungan keraton, kerabat jauh keraton yang masih berdarah ningrat. Suwarsih pun kemudian pindah boyongan dan tinggal di Pracimosono, kompleks Keraton Jogja sampai kini.
Keempat putranya semua telah mandiri, satu diantara menantunya juga mengabdikan diri sebagai abdi dalem keraton. Sementara teman-teman perawat seangkatan sudah tak lagi mengabdi di keraton, Suwarsih masih tetap bertahan. Bahkan hanya satu-satunya perawat yang tersisa di sana.
Klinik Keraton memang diutamakan untuk keluarga dan kerabat keraton. Tapi di luar itu, juga melayani seluruh abdi dalem, termasuk pula wisatawan yang berkunjung ke Keraton Jogja. Berbagai pengalaman menarik pun pernah dirasakan Suwarsih. Memberi perawatan bagi garwa-garwa dalem Sultan HB IX yang kini telah mangkat, hingga memberi sekadar pertolongan pertama bagi para wisatawan dan pelancong. Termasuk pula ketika suatu kali mandapat pasien dari mancanegara yang tiba-tiba pingsan, karena sebuah sebab sepele, lantaran kekenyangan mencoba berbagai macam makanan tradisional Jogja.
Di Keraton, Suwarsih menemukan kedamaian. Siang hari saat tak disibukkan dengan pasien, dia tampak asyik bercengkerama dengan para pembatik di satu sisi selasar Keraton Kilen. Para pembatik itu juga 'pasien-pasien'-nya, sekaligus sahabat karibnya. Sebuah suasana yang menurutnya tak bakal dia temui bila harus bekerja di sebalik tembok-tembok kokoh RS. Rasa damai itu pulalah yang membuat Suwarsih memutuskan, untuk terus mengabdi hingga akhir-hayatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar