Kamis, 30 Juli 2009

KAA (Konferensi Asia Afrika)

KAA (Konferensi Asia Afrika)

Asal Usul Asia Afrika
Sebagian besar pengamat peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) menyadari bahwa tidak banyak yang bisa diharapkan dari pertemuan minggu ini di Bandung dan Jakarta. Kita setuju. Yang bermasalah dan perlu diperdebatkan lebih jauh adalah mengapa demikian?

Tidak sedikit pengamat berpendapat, kebanyakan negara di Asia-Afrika disibukkan masalah dalam negeri. Ini dianggap sebagai alasan mengapa solidaritas Asia-Afrika menjadi terbengkalai. Ada yang menganggap persoalan politik dan ideologi yang menjiwai KAA 50 tahun lalu sudah kedaluwarsa. Yang penting sekarang adalah kerja sama ekonomi.
Rasanya masih ada sejumlah faktor dan alasan lain yang kurang disorot. Yang pertama dan terutama adalah perubahan sosok "negara" dan hubungannya dengan "bangsa" di berbagai kawasan dunia, termasuk di Indonesia sendiri.
Singkat cerita, 50 tahun lalu terjadi bulan madu antara bangsa dan negara di berbagai kawasan dunia. Keduanya menikmati tahun-tahun awal "akad-kemerdekaan". Tapi bulan madu itu berakhir dalam waktu singkat. Yang terjadi bukan perceraian. Lebih buruk lagi, satu demi satu para "negara" mengkhianati amanah kemerdekaan dan melakukan kekerasan domestik terhadap "bangsa".
Di sejumlah kawasan Asia-Afrika berbagai negara bekas terjajah menjadi militeristik dan otoriter. Negara-negara ini bukannya sibuk berperang melawan musuh di luar dirinya. Tidak juga memperjuangkan kemandirian terhadap musuh bersama yang mendorong berlangsungnya KAA tahun 1955. Mereka sibuk membela kepentingan sempit elite yang menjadi pejabat negara, bila perlu dengan menjadi penjajah bangsa sendiri.
Di Indonesia hal ini diawali dengan perubahan watak kekuasaan negara di bawah Presiden Soekarno menjelang 1960. Gejala awal otoriterisme negara Demokrasi Terpimpin ala Insinyur Soekarno disempurnakan secara ekstrem oleh negara Orde Baru di bawah Mayor Jenderal Soeharto dengan dukungan negara-negara bekas penjajah.
Masa kekuasaan Orde Baru bukannya ditandai oleh kuatnya perlawanan terhadap kekuatan raksasa dunia seperti imperialisme atau kapitalisme. Justru sebaliknya. Terjadi pembantaian besar-besaran atas rakyat bangsa sendiri yang dianggap membahayakan ideologi imperialisme, budaya kolonial, atau kepentingan kapitalisme global. Masa 1960-an hingga 1990-an ini juga merupakan masa penjajahan besar-besaran terhadap akal sehat dan peradaban modern yang dibina berpuluh tahun oleh generasi peserta KAA 1955 dan kaum nasionalis pendahulu mereka.
Yang terjadi di Indonesia terjadi juga di beberapa negara lain di Asia-Afrika, walau dengan versi, rincian peristiwa, tokoh, dan istilah yang berbeda-beda. Yang jelas, sebuah KAA tidak mungkin terselenggara, apalagi sukses, dalam sebuah masyarakat seperi Orde Baru atau berbagai versi reinkarnasi yang masih bertebaran di masa ini.
Dua orang menjadi tokoh kunci di balik terselenggara dan suksesnya KAA 1955. Yang pertama, sudah banyak diakui, yakni Insinyur Soekarno yang juga Presiden pertama Republik Indonesia. Yang kedua, dan kurang dihargai pada masa ini, adalah Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri RI (1953-1955).
Ali Sastroamidjojo adalah orang yang pertama kali mengusulkan diadakannya pertemuan akbar se-Asia-Afrika, ketika berlangsung pertemuan beberapa perdana menteri di Colombo (28 April-2 Mei 1954). Usulan itu ditolak. Tapi empat bulan kemudian usul ini diterima ketika Ali menjumpai Nehru di Delhi. Seperti diuraikan almarhum Herbert Feith, perubahan sikap Nehru ini didorong oleh kemesraan baru di antara India dan RRC. Usulan Ali diterima, dengan syarat RRC juga diikutsertakan, walau sebelumnya Ali hanya bermaksud mengundang perwakilan Asia-Afrika yang sudah menjadi anggota PBB.
Seperti halnya PM Ali, Presiden Soekarno juga bersimpati terhadap RRC maupun Vietnam. Bukan saja karena kedua tokoh Indonesia ini "kekiri-kirian" (faktor itu memang ada). Yang lebih penting, keduanya bersemangat memperjuangkan dekolonialisme dan melawan imperialisme-kapitalisme. Sikap serupa sedang melanda Asia-Afrika.
Sikap yang sama menambah kemesraan bulan madu negara-bangsa di berbagai kawasan. Berbagai bangsa-negara ini dipersatukan oleh musuh bersama yang dianggap bermarkas di Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Orang-orang yang kekiri-kirian seperti Ali dan Soekarno itulah yang sepuluh tahun sesudah KAA dibantai di masa awal Orde Baru. Yang masih hidup dipenjara atau diberi stigma politik dan sipil "tidak bersih". Andaikan orang-orang seperti Ali Sastroamidjojo atau Soekarno bertumbuh dewasa di masa Orde Baru, mungkin nasibnya seperti Munir atau lebih buruk. Sebuah pertemuan dan visi internasional seperti KAA, atau peringatannya, mustahil punya tempat di masa itu.
KAA 1955 berlangsung di saat Indonesia memperjuangkan Irian Barat yang waktu itu statusnya masih tidak menentu di tingkat diplomasi internasional. Ini sebagai bagian dari perjuangan nasionalisme dan dekolonialisme. Ironisnya, 50 tahun kemudian Papua seperti juga Aceh sibuk di forum internasional untuk merdeka dari Indonesia.
Kalau peringatan KAA tidak lagi bergema, persoalannya bukan karena berbagai negara Asia-Afrika disibukkan perkara dalam negeri. Bukan karena masalah politik dan ideologi sudah kedaluwarsa. Ketika KAA disiapkan dan diselenggarakan, kondisi masing-masing negara peserta penuh masalah. Tengok Indonesia. Pertentangan di antara elite politik berlangsung gencar. Pemerintahan bertumbangan secara bergilir.
Lima puluh tahun lalu wawasan universal dimiliki elite politik secara kuat. Persoalan dalam negeri tidak dipisahkan dari persoalan internasional. Kepentingan negara tidak bertentangan frontal dengan kepentingan bangsa.
Lima puluh tahun kemudian, bangsa-bangsa di Asia-Afrika merasa dikhianati oleh negara masing-masing. Solidaritas global masa ini masih ada, tetapi terbentuk bukan di tingkat atau lewat jalur negara. Yang berkembang adalah kerja sama perusahaan swasta tanpa kesetiaan terhadap bangsa-negara. Juga gerakan politik-ideologi masyarakat madani lintas bangsa-negara: feminisme, Islam, lingkungan hidup, demokrasi, dan hak asasi. Dan ini tidak sebatas Asia-Afrika.

PELAKSANAAN KAA 1955
Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang Konferensi . Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang.

Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.

Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.

Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima ) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.

LAHIRNYA IDE KONFERENSI
Keterangan Pemerintah Indonesia tentang politik luar negeri yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mr.Ali Sastroamidjojo, di depan parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953, menyatakan;

“Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerja sama erat negara-negara tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antar negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menyenangi kerjasama kedaerahan (regional arrangements). Lain dari itu negara-negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama (commonground) untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu kerja sama tersebut akan kami lanjutkan dan pererat”.

Bunyi pernyataan tersebut mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika.

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut di terima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang.

Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.

Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia :

“Where do we stand now, we the peoples of Asia , in this world of ours to day?” (“Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?”), kemudian pernyataan tersebut dijawab sendiri dengan menyatakan:

“We have noe indeed at the cross-roads of the historyof mankind. It is therefore that we Prime Minister of five Asian countries are meeting here to discuss those crucial problems whice urge Indonesia to propose that another conference be convened wide3r in scope, between the African and Asian Nations. I am convined that the problems are not only convened to the Asian countries represented here but also are of equal importance to the Afrika and other Asian countries”.

(Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia . Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”).

Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika.

Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.

Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. rapat dinas tersebut diadakan di tugu ( Bogor ) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954.

Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi mkembicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.

USAHA-USAHA PERSIAPAN KONFERENSI
Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjejaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran diplomatic kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhada ide mengadakan Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelasakan bahwa tujuan utama konferense tersebut ialah untuk membicarakan kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia afrika pada saat itu, mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya, walaupun dalam hal waktu dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.

Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya, mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa ini yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul itu dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdan Menteri Indonesia :

“The prime reprensentatives discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asians and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirble and world be helpful in promoting. Is should be held at an early date”.

(“Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin”).

Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28 september 1954.

Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.

Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdan Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.

Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.

TUJUAN KONFERENSI

Konferensi Bogor menghasilkan 4 tujuan pokok Konferensi Asia Afrika yaitu :

    1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan kerjasama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika , untuk menjelajah serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka , baik yang silih ganti maupun yang bersama, serta untuk menciptakan dan memajukan persahabatan serta perhubungan sebagai tetangga baik.
    2. Untuk mempertimbangkan soal-soal serta hubungan-hubungan di lapangan social , ekonomi , dan kebudayaan Negara yang diwakili.
    3. Untuk mempertimbangkan soal-soal yang berupa kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme.
    4. Untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika , serta rakyat-rakyatnya didalam dunis dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerja sama didunia.

PESERTA DAN WAKTU KONFERENSI
Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara.yaitu : Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muang thai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman . Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.

Mengingat Negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar negeri serta system politik dan social yang berbeda-beda.Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa Negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain.Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain.Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing

Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara pesreta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua sesalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu jadi.

Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika,baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regiobal . Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa lkali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika , Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.

Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia da Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka dibenua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa ciat-cita dan semangat Dasa Siala Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Aia dan Afrika.

Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “ Non-Aligned”terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow Jawa Bandung telah mengubah juga struktur perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat dan Timur.

Sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asuia Afrika sebagai berikut : “May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacom guiding the future progress of Asia and Afrika”

( “ Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita diatas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan dimasa depan dari Asia dan Afrika “)

KOMUNIKE AKHIR KONFERENSI ASIA AFRIKA

Konferensi Asia Afrika bersidang di Bandung dari tanggal 18 sampai 24 April 1955, atas undangan dari para Perdana Menteri Birma, Srilanka , India , Indonesia , dan Pakistan . Kecuali negara-negara sponsor, konferensi ini juga dihadiri oleh 24 negara sebagai berikut :

  1. Kamboja
  2. Republik Rakyat Cina
  3. Ethiopia
  4. Pantai Emas
  5. Iran
  6. Irak
  7. Jepang
  8. Yordania
  9. Laos
  10. Lebanon
  11. Liberia
  12. Libya
  13. Nepal
  14. Filipina
  15. Saudi Arabia
  16. Sudan
  17. Syiria
  18. Muang Thai
  19. Turki
  20. Republik Demokrasi Viet-Nam
  21. Viet-nam Selatan
  22. Yaman
  23. Afganistan
  24. Mesir

Konferensi Asia Afrika membicarakan masalah-masalah yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan membahas cara-cara dan upaya-upaya agar rakyat mereka dapat mencapai kerjasama ekonomi , kebudayaan, dan politik yang lebih erat.

Konferensi Asia Afrika menyatakan keyakinannya, bahwa kerukunan kerjasama yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut akan memberikan sumbangan yang berhasilguna bagi pemeliharaan dan peningkatan perdamaian dan keamanan internasional, sedang bekerjasama dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan akan membantu terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran semua.

Konferensi Asia Afrika menganjurkan agar kelima negara sponsor memikirkan penyelenggaraan konferensi berikutnya, setelah berkonsultasi dengan negara-negara peserta.

1 komentar: